Review Film: The Last Supper

Review Film – Bayangkan duduk di meja makan bersama orang-orang asing. Lampu temaram, suasana hangat, gelas anggur yang beradu, dan obrolan politik yang mulai memanas. Itulah awal dari The Last Supper, sebuah film yang sekilas terlihat seperti drama santai, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menusuk logika, etika, dan nurani.

Film ini membawa penonton masuk ke ruang makan yang elegan, namun menyimpan aroma busuk ideologi ekstrem dan moralitas yang mulai membusuk. Tidak butuh waktu lama untuk menyadari: ini bukan sekadar makan malam, ini adalah eksekusi. Dan kamu, sebagai penonton, di paksa ikut duduk di meja itu, menelan satu per satu sajian yang semakin mengguncang pikiran.

Karakter dengan Topeng Moralitas

Setiap karakter dalam The Last Supper hadir dengan wajah ramah dan intelektual. Mereka adalah sekelompok mahasiswa pascasarjana liberal yang tinggal serumah, punya kepedulian sosial tinggi, dan tentu saja: merasa punya hak untuk menentukan siapa yang pantas hidup dan siapa yang tidak. Di balik percakapan sopan santun, terselip hasrat beracun untuk “membersihkan” dunia dari para ekstremis dan pemikir konservatif.

Satu per satu tamu di undang untuk makan malam. Dan satu per satu mereka di buat tak pernah pulang. Semua dengan alasan yang, menurut para tokoh utama, adalah tindakan mulia. Tapi benarkah begitu? Atau ini hanya pembenaran moral yang di bungkus dengan kepintaran dan superioritas intelektual?

Yang mengerikan bukan hanya tindakan mereka, tapi betapa mudahnya penonton bisa merasa… setuju.

Sinematografi yang Menjebak

Jangan harap ledakan atau aksi kejar-kejaran. The Last Supper bermain di ruang yang sangat terbatas: satu rumah, satu meja makan, dan suasana yang pelan-pelan berubah dari hangat menjadi mengerikan. Kamera bekerja cerdas, menyorot ekspresi kecil—tatapan kosong, senyum dingin, tangan yang perlahan menggenggam pisau. Semuanya di kemas dengan elegan, nyaris seperti panggung teater yang di penuhi darah yang tak terlihat.

Nuansa warna hangat justru menjadi jebakan visual yang menyesatkan. Musik latar tidak terlalu dominan, tapi justru karena itulah ketegangan muncul dari percakapan itu sendiri. Setiap dialog adalah pertarungan moral, dan setiap pendapat yang di lontarkan bisa berujung pada kematian.

Baca juga : Pramono Geram, Gangguan Bank DKI Berujung Pencopotan

Sindikasi Ideologi dan Pembunuhan yang Dibenarkan

Yang membuat film ini semakin menyesakkan adalah kemampuannya memutarbalikkan logika penonton. Tidak ada karakter benar-benar jahat, tapi tidak ada juga yang sepenuhnya benar. Film ini seperti cermin retak—memantulkan wajahmu dalam bentuk yang mengganggu. Apakah kamu juga pernah merasa bahwa orang dengan ideologi berbeda pantas “di lenyapkan”? Apakah kamu pernah berpikir bahwa keyakinanmu adalah satu-satunya yang sah?

The Last Supper menusuk dalam, bukan lewat adegan sadis, tapi lewat ide yang mengancam: bahwa siapa pun bisa jadi monster… selama dia merasa dirinya adalah pahlawan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *