Tangis Pelatih Red Sparks Saat Lepas Megawati

Tangis Pelatih Red Sparks – Sebuah momen emosional pecah di tengah lapangan voli Korea Selatan. Bukan karena kekalahan, bukan pula karena kemenangan. Tapi karena perpisahan. Perpisahan yang menyisakan luka mendalam bagi tim, suporter, dan—yang paling mencolok—pelatih Red Sparks, Ko Hee-jin. Sosok tegas yang selama ini di kenal sebagai pemimpin dingin itu akhirnya runtuh. Air matanya jatuh, tak terbendung, saat Megawati Hangestri Pertiwi resmi berpamitan dari klub.

Megawati, pemain andalan asal Indonesia yang mencuri perhatian dunia lewat performa magisnya, telah menjadi pilar kekuatan Red Sparks selama satu musim yang penuh gairah. Ia bukan sekadar pemain asing, tapi simbol kebangkitan tim. Maka saat keputusan hengkang itu di umumkan, tak ada yang siap. Terlebih sang pelatih, yang diam-diam menyimpan ikatan emosional dalam-dalam.

Baca juga : Pramono Geram, Gangguan Bank DKI Berujung Pencopotan

Pelukan Panjang dan Tangisan yang Tak Terucap

Momen itu terjadi setelah pertandingan terakhir musim 2024/2025. Selesai peluit panjang di tiup, kamera menyorot adegan yang tak biasa. Ko Hee-jin berjalan pelan ke arah Megawati. Tak ada kata, hanya pelukan panjang yang mendadak berubah jadi isakan. Tangisnya pecah di bahu Megawati, tanpa bisa di tahan.

Para pemain lain mematung. Suporter terdiam. Pemandangan itu mengoyak banyak hati. Bagaimana mungkin seorang pelatih yang terkenal disiplin, hampir tak pernah menunjukkan emosi, akhirnya roboh di depan publik karena kepergian satu pemain?

Tapi Megawati bukan “satu pemain biasa”. Ia adalah denyut nadi permainan Red Sparks. Statistik berbicara: top skor klub, MVP pilihan publik, dan ikon marketing yang mengguncang pasar K-Voli. Lebih dari itu, ia membangun kedekatan yang jarang terjadi antara pemain asing dan komunitas lokal. Ia belajar bahasa Korea, menghormati budaya, dan mencintai tim seperti rumahnya sendiri.

Kehilangan yang Tak Tertutup Statistik

Tak sedikit yang beranggapan bahwa kepergian Megawati adalah pukulan telak. Bahkan sebuah pengkhianatan. Namun bagi pelatih Ko Hee-jin, ini adalah luka personal. Ia merasa kehilangan anak sendiri. Sejak awal merekrut Megawati, ia mempertaruhkan reputasinya. Banyak yang meremehkan keputusan itu, menyebutnya berjudi. Tapi ia percaya, dan Megawati menjawabnya dengan prestasi.

Kini, saat sang anak emas itu memilih jalan baru, pertanyaannya bukan lagi tentang strategi atau komposisi tim. Ini tentang lubang yang d itinggalkan di hati sang pelatih. Tangisan Ko Hee-jin bukan sekadar air mata biasa. Itu adalah jeritan batin seorang mentor yang di tinggalkan murid terbaiknya.

Suporter: Dari Euforia ke Luka Kolektif

Tak kalah emosional adalah reaksi para suporter Red Sparks. Dalam semusim, Megawati telah mengubah wajah klub. Dari tim biasa menjadi sorotan nasional. Penjualan jersey melonjak. Penonton di stadion bertambah. Dan yang paling mencolok: suasana pertandingan berubah jadi festival budaya karena kehadiran Megawati dan fans Indonesia yang datang jauh-jauh.

Kini, euforia itu berganti luka kolektif. Akun media sosial klub dibanjiri komentar. Ada yang mengucap terima kasih, ada yang menyalahkan manajemen, ada juga yang tak percaya—menyebut ini sebagai kehilangan terbesar Red Sparks dalam satu dekade.

Pertanyaan Besar: Ke Mana Megawati Pergi?

Meski belum ada konfirmasi resmi, rumor soal pelabuhan baru Megawati sudah merebak. Ada yang menyebut Turki, ada pula yang percaya ia akan balik ke Indonesia untuk memperkuat tim nasional secara penuh. Namun satu yang pasti: kepergiannya menyisakan ruang kosong yang tak mudah diisi. Terutama di hati seorang pelatih yang kini menangis bukan karena kekalahan… tapi karena kehilangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *