The King – Siapa bilang film bertema religius harus selalu lembut, penuh doa, dan membosankan? The King of Kings (2025) hadir seperti petir di langit cerah, mengguncang persepsi lama dengan pendekatan sinematik yang brutal, emosional, dan penuh amarah. Disutradarai oleh Mateo Alvarez, film ini bukan sekadar adaptasi ulang kisah Yesus Kristus—ini adalah pembongkaran total terhadap figur Mesias sebagai manusia berdarah-daging, penuh keraguan, dan konflik batin yang menyala-nyala.
Layar dibuka bukan dengan kelahiran ajaib atau pemandangan malaikat yang turun dari surga, tapi dengan Yesus yang berjalan sendirian di padang gurun—kering, lusuh, dan nyaris kehilangan akal. Kamera mengikuti langkahnya dengan close-up intens, memperlihatkan mata yang lelah dan penuh beban. Tak ada musik pengantar surgawi. Hanya suara angin, pasir, dan deru napas yang berat. Di sinilah penonton langsung sadar: ini bukan Yesus yang biasa kau lihat di buku-buku sekolah Minggu. Ini adalah Mesias yang terluka.
Yesus Sebagai Ikon Perlawanan
Yang bikin The King of Kings makin menggila adalah penggambaran Yesus sebagai figur pemberontak. Bukan cuma rohani, tapi juga politik. Ia berteriak lantang pada ketidakadilan, menantang otoritas agama Yahudi dan penjajahan Romawi dengan nada yang tak lagi halus. Ia menyentuh penderita kusta bukan dengan kasih saja, tapi dengan kemarahan terhadap sistem sosial yang meminggirkan. Dalam satu adegan menggetarkan, Yesus melemparkan meja uang di Bait Allah sambil menatap tajam ke kamera, seolah menantang penonton: “Kau juga bagian dari sistem ini.”
Daniel Meszaros, aktor Eropa Timur yang dikenal lewat peran-peran teater Shakespearean, membawakan peran Yesus dengan intensitas tak biasa. Wajahnya bukan wajah malaikat—ia punya rahang keras, tatapan tajam, dan suara serak seperti luka yang sudah lama tidak sembuh. Pilihan casting ini jenius, karena ia berhasil membawa karakter Yesus dari sosok mistik ke sosok nyata yang berdiri di hadapan kekuasaan tanpa rasa takut.
Baca juga : Luna Maya Pamer Wajah Tanpa Makeup Jelang Nikah di Bali
Visualisasi yang Mengguncang Nurani
Jangan harap film ini lembut secara visual. Dari awal hingga akhir, kita di bawa dalam dunia yang suram, penuh debu, darah, dan air mata. Warna-warna yang di gunakan bukan pastel surgawi, tapi palet cokelat, kelabu, dan merah tua—simbol penderitaan dan perlawanan. Adegan penyaliban di garap begitu brutal namun artistik, membuat tubuh penonton ikut meringis. Tidak ada sensor. Tidak ada penyederhanaan. Salib adalah instrumen penyiksaan, dan film ini tidak segan menunjukkan seluruh kenyataannya.
Tapi di balik semua kegelapan itu, terdapat momen-momen yang begitu manusiawi hingga menghantui. Seperti ketika Maria, ibu Yesus, duduk diam melihat anaknya di siksa. Kamera menangkap wajahnya dari samping, dengan mata berkaca-kaca dan bibir yang gemetar. Tak ada dialog. Hanya kesunyian yang memekakkan telinga. Di titik inilah The King of Kings menunjukkan kekuatan sejatinya: ia tak memaksa penonton percaya, tapi memaksa mereka merasakan.
Kontroversi yang Sudah Ditunggu
Tak heran film ini langsung di banjiri kritik dan pujian dari berbagai arah. Kaum konservatif menyebutnya “penghinaan terselubung,” sementara seniman dan aktivis menyebutnya “karya profetik paling berani dekade ini.” Dan memang, Mateo Alvarez sepertinya sengaja memancing reaksi itu. Ia tidak mau penonton nyaman. Ia ingin penonton terguncang, marah, bahkan mungkin keluar bioskop sebelum film usai. Tapi siapa bilang karya seni harus menyenangkan?
The King of Kings (2025) bukan film untuk semua orang. Tapi bagi mereka yang berani menatap ulang wajah keimanan tanpa filter, ini adalah film yang wajib di tonton—dan di bicarakan. Karena di dunia yang di penuhi dogma, film ini adalah palu godam yang menghantam langsung ke jantung keyakinan.